Menyambut Hari Valentine
Mengingat Keabadian Kasih
Oleh Martina Susanti
Setiap kali merayakan hari kasih sayang sedunia yang dikenal sebagai Valentine’s Day, kita kembali disadarkan bahwa dunia ini membutuhkan kasih sayang, dunia ini membutuhkan cinta kasih sejati, yang akhir-akhir ini cenderung semakin hilang. Sebab, dunia yang kita huni sekarang ini sudah dipenuhi dengan dosa, kebencian dan permusuhan antarberbagai kelompok etnik dan bangsa. Sekalipun para pemimpin bangsa telah mengerahkan segenap tenaga dan upaya, virus mematikan yang namanya kebencian terus saja beranak pinak.
Siklus kebencian terus saja berputar makin cepat dan kuat, didorong oleh kurangnya pengetahuan, fanatisme dan propaganda yang tidak bertanggung jawab.
Para pemimpin bangsa, sudah berupaya mencari solusi terbaik atas fenomena kebencian dan permusuhan, namun masih terjebak dengan cara-cara dunia yang serba rasional.
Padahal, sebenarnya sudah tersedia solusi-solusi yang baru, inovatif, serta terampuh untuk menyelesaikan berbagai pertikaian yang berkecamuk. Solusi itu sudah ada di depan mata, kita tinggal mencomot dan mengadopsinya.
Mahatma Gandhi, seorang tokoh di India yang sangat terkenal dengan ajaran ahimsa (tidak menggunakan kekerasan), tampaknya sudah menggunakan rumusan tersebut. Meski berbeda agama dan ideologi, Gandhi toh belajar banyak dari figur sang profesor ”Kasih”, yakni Yesus.
Gandhi banyak mempelajari kehidupan dan ajaran Yesus, melalui ajarannya yang terkenal ”Khotbah di Bukit” dan kemudian mencoba merefleksikan dalam realitas keseharian.
Fenomena ini membuktikan, bahwa kekuatan ajaran kasih sudah melintas batas agama, ras, suku, dan golongan serta bersifat universal. Banyak buku yang kemudian mengulas, bahwa ajaran ahimsa sebenarnya bertolak dari ajaran kasih, yang merupakan ajaran tertinggi yang sifatnya universal.
Membalikkan suasana
Dalam kotbah fenomenal yang dikenal sebagai ajaran ”Khotbah di Bukit” itu, Yesus menghimbau para pendengarnya untuk tunduk kepada cara-cara Allah. Dalam uraiannya, Yesus mengeluarkan statement yang luar biasa: ”Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5: 44).
Anjuran itu bukan hanya merupakan solusi yang terbaik untuk mengatasi masalah kebencian dan prasangka, melainkan juga satu-satunya solusi yang sangat praktis. Meski demikian, ada sementara golongan yang menentangnya. Golongan skeptis misalnya menganggap gagasan mengasihi sebagai sesuatu yang terlalu muluk dan tidak praktis. Ajaran semacam ini tidak aplikabel dan sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, jika kita mau berpikir jernih, maka logikanya adalah apabila orang-orang bisa belajar membenci –-karena terus-menerus diprovokasi dan diagitasi dengan ajaran kebencian setiap hari-- maka bukankah masuk akal untuk berasumsi bahwa mereka juga bisa belajar untuk tidak membeci alias mengasihi. Suasana semacam ini harus terus dikondisikan dan didengungkan setiap hari, sehingga terjadi internalisasi nilai-nilai kasih dalam kehidupan seseorang. Intinya adalah ajaran kasih mesti dipraktikkan, bukan hanya sekadar teori di atas kertas. Kita-kita harus menjadi praktisi ajaran kasih yang melampaui segala batas-batas dan sekat-sekat yang diciptakan manusia itu sendiri. Kita harus membalikkan suasana dari dunia yang penuh taburan kebencian, menjadi dunia yang luber bahkan banjir dengan aliran-aliran ”air bah” kasih.
Untuk itu, yang pertama kali harus dipahami adalah arti kasih itu sendiri. Istilah Yunani yang dipergunakan dalam Matius 5: 44 berasal dari kata agape. Kata ini mengandung makna kasih yang dibimbing dan dikendalikan oleh prinsip illahi.
Kasih tersebut tidak selalu harus disertai kasih sayang yang sangat hangat.
Karena dibimbing oleh prinsip-prinsip yang adil dan benar, kasih demikian akan menggerakkan orang untuk berupaya memperhatikan kepentingan orang lain, tanpa mempersoalkan bagaimana kelakuan mereka, bagaimana latar belakang mereka serta sederetan alasan untuk tidak mengasihi lainnya.
Dengan demikian, kasih agape dapat mengalahkan permusuhan pribadi maupun golongan. Ketika Yesus menghadapi prajurit-prajurit Roma yang memantek dan menyalibkannya, ia mempertunjukkan kasih seperti itu dengan tidak mengecam mereka, namun justru mendoakan, yakni: Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan (Lukas 23: 34).
Memang untuk mengubah suasana kebencian seketika, tidaklah mudah. Namun, ada banyak pribadi-peibadi yang sudah belajar kasih agape ”Allah” dan berubah menjadi pribadi yang hangat, dan penuh kasih.
Sebut di antaranya Ibu Theresa di Calcuta India, serta pahlawan-pahlawan kasih lainnya. Mereka adalah sosok-sosok pribadi yang lugu, sederhana, tanpa pamrih, yang jauh dari publisitas, namun memiliki kasih yang sempurna itu.
Mengapa dunia penuh dengan kebencian dan sumpah serapah? Menurut Alkitab, penyebab utama kebencian di antaranya adalah berasal dari adanya hawa nafsu.
Kitab Yakobus 4: 1 dengan jernih menjelaskan alasannya: ”Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?” Ya, semua bentuk kebencian berakar dari munculnya hawa nafsu yang dituruti keinginannya.
Hawa nafsu manusialah yang sering membuat munculnya virus kebencian, karena terus-menerus dipelihara oleh yang bersangkutan. Oleh sebab itu, kasih agape adalah suasana batin yang menyembuhkan hawa nafsu yang tumbuh dalam hati dan pikiran kita.
Jalan keluar
Bagaimanapun juga, kebencian yang menjadi akar segala kejahatan, harus segera diakhiri. Kasih agape, menutup segala akar kebencian itu.
Meskipun demikian, tidak ada salahnya apabila orang-orang belajar untuk mempraktikkan kasih agape ini secara perlahan, sedemikian rupa sehingga nantinya segala macam bentuk kebencian tidak akan mendapatkan tempat lagi, khususnya di bumi Indonesia ini.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu direnungkan sehubungan dengan perayaan dan peringatan hari Valentine sedunia yang jatuh pada tanggal 14 Februari 2004 ini.
Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan, di antaranya: Pertama, kita semua harus belajar mengendalikan diri serta memangkas hasrat-hasrat yang mementingkan diri sendiri. Kedua, menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi (diri sendiri) adalah cara lain untuk memadamkan konflik yang tidak perlu terjadi.
Ketiga, berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati. Keempat, dengan rendah hati menganggap orang lain lebih penting (tinggi) dibandingkan dengan diri kita sendiri.
Dan kelima, selagi ada waktu dan kesempatan, marilah berbuat baik bagi semua orang, tanpa ada batas dan sekat primordial dan sekat-sekat duniawi lainnya.
Semua itu, adalah dalam rangka menuju kasih agape yang diajarkan secara langsung melalui kehidupan Yesus. Belajar dari keteladanan kehidupan Yesus ”sang profesor kasih”, merupakan sesuatu yang sangat pas.
Nah, di sinilah makna peringatan Valentine’s Day menjadi sempurna. Percuma hari Valentine diperingati setiap tahun, tanpa membawa perubahan yang berarti terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Valentine’s Day harus bermakna, dan hari itu berarti momentum untuk menabur kasih dan kepedulian bagi kehidupan sesama.
Valentine berarti berakhirnya rasa saling benci di antara anak bangsa. Valentine’s Day harus segera mengakhiri berbagai konflik yang terjadi di negeri ini, dan juga di belahan bumi lainnya.
Saturday, February 14, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment